Jumat, 11 Desember 2015

Laki-laki di Ujung Jembatan

Iya benar. Di sana itulah Ada sebuah barisan orang yang sedang mengantri. Mereka sedang antri untuk melewati sebuah jembatan kecil dan tidak terlalu panjang. Tak ada yang naik sepeda motor maupun mobil. Semua berjalan kaki. Di bawah jembatan itu bukanlah sebuah aliran sungai yang deras, melainkan sebuah  halaman sekolah  yang bepaving. Jembatan itu juga memiliki atap bukan dari ganteng, tetapi  dari bahan yang hampir mirip  dengan plastik. Jembatan itu bukanlah terdapat  di jalan raya melainkan di halaman sebuah Sekolah Menegah Atas.
Begitu banyak yang mengantri, maka dibuatlah suatu barisan  yang terdiri  atas tiga banjar. Seolah-olah barisan itu tidak segera maju sehingga membuatku lama menunggu. Anehnya, tidak ada satupun  orang yang berani menerobos barisan. Semua mengantri dan ada di barisan masing-masing.
Aku baru saja datang dan berhenti menempatkan diri di barisan paling  belakang, sendirian. Aku berdiri di belakang  seorang laki-laki. Aku perhatikan, aku seperti mengenalnya. Akan tetapi,  belum sempat aku mengingat, konsentrasiku pecah karena perhatianku kini tertuju pada gaya bicara dan tertawa yang khas dari seorang laki-laki yang memanggilku di belakang sana. Dia datang seorang diri, dan dengan agak berlari-lari kecil laki-laki itu menuju ke arahku dan berdiri tepat di sampingku. Dia terlihat senang dengan pertemuan itu karena memang sudah lama kita tidak bertemu. Laki-laki itu menyapa dan menanyakan kabarku. Akupun menanggapi dengan senang pula. Di ujung jembatan itu aku bertemu.